Sekapur sirih

Jumat, 28 September 2018

*Maqomat dalam ber-Whatsapp*


Media sosial adalah sarana untuk mempublis informasi baik yang bersifat publik maupun privat. Aturan² yang bersifat privat cenderung dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-undang ITE, sehingga para pengguna medsos tidak bisa serta merta memposting privasi seseorang tanpa terlebih dahulu memiliki ijin dari orang itu sendiri. Sementara informasi yang bersifat publik bisa kapan saja, dan pada media mana saja diposting berdasarkan regulasi yang berlaku.

Salah satu media sosial yang sangat digandrungi saat ini adalah whatsapp. WhatsApp adalah aplikasi pesan untuk smartphone dengan basic mirip BlackBerry Messenger. WhatsApp Messenger merupakan aplikasi pesan lintas platform yang memungkinkan kita bertukar pesan tanpa biaya SMS, karena WhatsApp Messenger menggunakan paket data internet yang sama untuk email, browsing web, dan lain-lain. Aplikasi WhatsApp Messenger menggunakan koneksi internet 3G, 4G atau WiFi untuk komunikasi data. Dengan menggunakan WhatsApp, kita dapat melakukan obrolan online, berbagi file, bertukar foto dan lain-lain. (wikipedia.com).

Salah satu fitur dalam whatsapp adalah Grup Whatsapp. Berbasis nomor handphone, pengguna medsos yang satu ini dapat mengelompokkan teman²nya pada satu komunitas online. Fitur ini amatlah bermanfaat khususnya bagi para organisatoris dalam hal sharing informasi. Hanya dengan satu "klik" pesan akan tersampaikan tanpa harus susah payah mengirimkan pesan secara perorangan.

Sikap bijak dalam menggunakan grup whatsapp sangat diperlukan, karena hal ini menyangkut dengan orang lain yang juga berlaku sebagai user/pengguna. Artinya semua pengguna dalam grup khususnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mengelola dan bersikap dalam Grup Whatsapp.

Setiap Grup Whatsapp memiliki identitas dan karakter masing². Tujuan utama dibentuknya grup whatapp berguna untuk menshare informasi yang faktual bagi perkembangan komunitasnya. Kendati sesekali diselipkan selingan seperti humor, informasi politik, reliji atau yang lainnya, tetapi semua itu tidak menghilangkan substansi grup itu sendiri.

Katakanlah Grup PGRI yang dibentuk oleh Pengurus Provinsi. Grup ini merupakan refleksi upaya pengurus Provinsi yang patut mendapat apresiasi para pengurus Kabupaten/kota. Karena dengan dibentuknya grup ini sejatinya banyak hal positif yang diperoleh.

Mungkin terkesan aneh dan bahkan asing ketika membaca judul tulisan ini.  *"Maqomat dalam ber-Whatsapp".*

Ingin sekali penulis sampaikan, bahwa setiap orang memiliki _maqomat._ Namun sebelum masuk dalam inti permasalahan penulis mencoba memaknai kata itu.

Pengertian Maqamat:
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti keddudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.:
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti keddudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.

Sesungguhnya kata *maqomat* lebih banyak digunakan oleh kalangan sufi. Namun dalam hal ini penulis mencoba meminjam istilah itu dengan mengambil makna harfiahnya. Yaitu tempat orang berdiri/berpijak.

Jika mengambil makna harfiah pada judul di atas, maka maqomat yang dimaksud adalah tugas pokok dan fungsi anggota whatsapp yang tergabung dalam grup PGRI. Jabatan-jabatan yang disandang merupakan maqomat yang memiliki misi untuk memajukan organisasi. Apapun jenis postingan yang dipublish harus faktual, organisatoris dan strategis. Kendati di-"halal-kan" juga sewaktu-waktu mempublish yang bersifat reliji, humor dan informasi umum yang bersifat insidental.

Postingan yang terus menerus dipublish dengan corak yang sama, apalagi yang dilakukan dengan hanya "copy vaste" dan bukan merupakan karya original si pemosting tadi, pada akhirnya hanya akan memenuhi beranda grup saja. Karena untuk menarik perhatian para intelektual seyogyanya si pemosting harus mampu menyajikan karya yang intelek pula.

Postingan yang terus menerus-pun akan menimpa postingan di atasnya, yang boleh jadi postingan di atas itu memiliki urgensitas.

Maqomat dalam berwhatsapp adalah aktifitas anggota grup whatsapp yang direfleksikan dengan postingan² berdasarkan tugas dan jabatan anggota. Struktur di bawah sangat membutuhkan informasi organisasi dari struktur di atas atau sebaliknya, sehingga alangkah eloknya jika masing² sekretaris biro/bidang memposting programnya. Share informasi di luar itu juga tidak ada salahnya, bahkan bernilai positif. Akan tetapi puluhan postingan dengan corak yang sama bisa kita peroleh dengan mudah pada media lain di luar grup PGRI.

#Jayalah PGRI-ku...
Dan dengan bijak kita gunakan _maqomat_ organisasi ini ....

Kamis, 08 Februari 2018

Rindu Yang Tak Pernah Terjawab

Di surau kecil, berbilik bambu, beratapkan daun enau yang sudah sangat rapuh. Tergolek anak laki-laki di samping ayahnya yang sedang khusyu mengaji. Hurup demi hurup ia lapalkan dengan pasih. Sesekali bapak tua itu mengibaskan kain sorbannya, mengusir nyamuk yang hinggap di anak laki-laki itu. Bahkan ia belai rambutnya, ia tatap penuh cinta. Setelahnya, bapak tua itu melanjutkan kembali tadarusnya.

Tidur anak itu begitu nyenyak. Wajahnya yang lugu menggambarkan kedamaian. Bahagia sekali ia hidup dalam kasih sang bapak, walau sejak lahir hingga usia 5 tahun kini ia tak pernah mengenal raut wajah sang ibu. Ibunya telah berpulang kepada khaliqnya.

Selesai tadarus, bapak tua menutup alquran penuh takzim. Diciumnya mushaf mulia itu. Tak lupa ia tengadahkan tangan, berdoa penuh harap kepada sang pencipta.

“Ibnu, kita pulang sayang ...” Bisik sang bapak seraya menggendong anak itu pulang ke rumah.

Ibnu adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kakak-kakaknya telah berkeluarga. Ia hidup dengan ayah yang sangat renta. Hidupnya cukup sulit, karena negerinya kini berada dalam genggaman penjajah Jepang. Baju karung dan penyakit kulit biasa ia saksikan. Hampir setiap hari orang meninggal di pinggir jalan. Lunglai karena tak temukan makanan berhari-hari. Bukan tidak ada ladang, bukan pula sawah telah lenyap, akan tetapi hasil bumi haruslah dipersembahkan kepada Jepang, Upeti pada sang penguasa.

Pemuda-pemuda perkasa diseret dalam romusha, dipaksa ikuti nafsu angkara. Manusia bak hewan tak berharga, di mata mereka para penyembah kuasa.

Bukan tak mau kakak-kakak Ibnu mengurusnya. Mereka takut sekali Ibnu dibawa tentara penjajah, kemudian dijadikan budak di markas mereka. Ibnu terlalu kecil untuk menerima kenyataan pahitnya zaman. Kakak-kakak Ibnu lebih memilih ia tinggal bersama ayahnya, di kampung, jauh di pedalaman, di pinggir hutan tak terjamah.

Namun penjajah tetaplah penjajah. Bukan hanya kota mereka duduki, bahkan kampung di pelosok negeri mereka kuasai. Tidak terkecuali kampung dimana Ibnu diami. Pemuda banyak diseret menjadi romusha, selebihnya mereka lebih rela masuk ke dalam hutan. Mempertahankan harga diri walau dalam nestapa.

Banyak penduduk mengungsi ke tempat lain. Berharap memperoleh sedikit kedamaian di sana. Termasuk kakak perempuan Ibnu, ia harus menuruti ajakan suaminya hijrah ke kota lain. Walaupun berat, karena harus meninggalkan kampung halamannya, ayahnya yg renta, dan juga adik kecilnya yang sangat ia sayangi. Namun ia bisa apa, keadaan menuntutnya seperti itu.

Diiringi linangan air mata sang kakak memeluk Ibnu, terbata ia berucap : “Ibnu, ceuceu pamit ya, kamu baik-baik di sini ya, dik... jaga abah...”

“Ceuceu akan pulang lagi kan ke sini...??” Isak Ibnu dalam pelukan kakaknya

“Ceuceu akan pulang lagi sayang...” Parau jawaban kakak Ibnu. Perlahan ia lepaskan pelukannya. Gontai ia berjalan menjauh dari Ibnu.

Dengan nanar Ibnu pandangi gerbong barang yang terus melaju. Matanya berkaca-kaca. Kecamuk dadanya melebihi gemuruh gerbong itu. Bagaimana tidak, kakak perempuannya, dalam keadaan hamil tua harus mengungsi ke kota lain. Di atas gerbong kereta barang, memeluk pakaian2 lusuh berbalut kain.

Hanya itu yang ia ingat. Setelahnya, ia kembali pada kehidupannya sebagai anak kampung. Menggembala, mengaji di surau, dan sesekali berlatih silat. Entah ia lupa, atau coba membunuh ingatan yang menyakitkan itu.

Jauh setelah Gestapu, dan bahkan Malari. Masa ini masa reformasi, setelah masa kepemerintahan orde baru selesai. Ibnu kecil kini sudah sangat sepuh. Ia memiliki istri dan anak yang sehat. Keluarganya cukup bahagia dan sejahtera. Di masa tuanya itu, ingatannya kembali terdampar pada kejadian di gerbong barang. Dimana sang kakak yang tengah hamil tua harus pergi meninggalkannya. Teramat rindu ia rasakan, namun kerinduan itu diringi tanda tanya yang tak pernah dapat dijawab. Dimanakah ia kini....???


Di teras rumahnya, disejuknya udara sore hari ... di relung kalbu sang adik, berbisik penuh pilu .... “KAKAK... BETAPA AKU MERINDUKANMU...”