Di surau kecil, berbilik bambu, beratapkan daun enau yang sudah sangat
rapuh. Tergolek anak laki-laki di samping ayahnya yang sedang khusyu mengaji.
Hurup demi hurup ia lapalkan dengan pasih. Sesekali bapak tua itu mengibaskan
kain sorbannya, mengusir nyamuk yang hinggap di anak laki-laki itu. Bahkan ia
belai rambutnya, ia tatap penuh cinta. Setelahnya, bapak tua itu melanjutkan
kembali tadarusnya.
Tidur anak itu begitu nyenyak. Wajahnya yang lugu menggambarkan kedamaian.
Bahagia sekali ia hidup dalam kasih sang bapak, walau sejak lahir hingga usia 5
tahun kini ia tak pernah mengenal raut wajah sang ibu. Ibunya telah berpulang
kepada khaliqnya.
Selesai tadarus, bapak tua menutup alquran penuh takzim. Diciumnya mushaf
mulia itu. Tak lupa ia tengadahkan tangan, berdoa penuh harap kepada sang
pencipta.
“Ibnu, kita pulang sayang ...” Bisik sang bapak seraya menggendong anak itu
pulang ke rumah.
Ibnu adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kakak-kakaknya telah
berkeluarga. Ia hidup dengan ayah yang sangat renta. Hidupnya cukup sulit,
karena negerinya kini berada dalam genggaman penjajah Jepang. Baju karung dan
penyakit kulit biasa ia saksikan. Hampir setiap hari orang meninggal di pinggir
jalan. Lunglai karena tak temukan makanan berhari-hari. Bukan tidak ada ladang,
bukan pula sawah telah lenyap, akan tetapi hasil bumi haruslah dipersembahkan
kepada Jepang, Upeti pada sang penguasa.
Pemuda-pemuda perkasa diseret dalam romusha, dipaksa ikuti nafsu angkara.
Manusia bak hewan tak berharga, di mata mereka para penyembah kuasa.
Bukan tak mau kakak-kakak Ibnu mengurusnya. Mereka takut sekali Ibnu dibawa
tentara penjajah, kemudian dijadikan budak di markas mereka. Ibnu terlalu kecil
untuk menerima kenyataan pahitnya zaman. Kakak-kakak Ibnu lebih memilih ia
tinggal bersama ayahnya, di kampung, jauh di pedalaman, di pinggir hutan tak
terjamah.
Namun penjajah tetaplah penjajah. Bukan hanya kota mereka duduki, bahkan
kampung di pelosok negeri mereka kuasai. Tidak terkecuali kampung dimana Ibnu
diami. Pemuda banyak diseret menjadi romusha, selebihnya mereka lebih rela
masuk ke dalam hutan. Mempertahankan harga diri walau dalam nestapa.
Banyak penduduk mengungsi ke tempat lain. Berharap memperoleh sedikit
kedamaian di sana. Termasuk kakak perempuan Ibnu, ia harus menuruti ajakan
suaminya hijrah ke kota lain. Walaupun berat, karena harus meninggalkan kampung
halamannya, ayahnya yg renta, dan juga adik kecilnya yang sangat ia sayangi.
Namun ia bisa apa, keadaan menuntutnya seperti itu.
Diiringi linangan air mata sang kakak memeluk Ibnu, terbata ia berucap :
“Ibnu, ceuceu pamit ya, kamu baik-baik di sini ya, dik... jaga abah...”
“Ceuceu akan pulang lagi kan ke sini...??” Isak Ibnu dalam pelukan kakaknya
“Ceuceu akan pulang lagi sayang...” Parau jawaban kakak Ibnu. Perlahan ia
lepaskan pelukannya. Gontai ia berjalan menjauh dari Ibnu.
Dengan nanar Ibnu pandangi gerbong barang yang terus melaju. Matanya
berkaca-kaca. Kecamuk dadanya melebihi gemuruh gerbong itu. Bagaimana
tidak, kakak perempuannya, dalam keadaan hamil tua harus mengungsi ke kota
lain. Di atas gerbong kereta barang, memeluk pakaian2 lusuh berbalut
kain.
Hanya itu yang ia ingat. Setelahnya,
ia kembali pada kehidupannya sebagai anak kampung. Menggembala, mengaji di
surau, dan sesekali berlatih silat. Entah ia lupa, atau coba membunuh ingatan
yang menyakitkan itu.
Jauh setelah Gestapu, dan bahkan
Malari. Masa ini masa reformasi, setelah masa kepemerintahan orde baru selesai.
Ibnu kecil kini sudah sangat
sepuh. Ia memiliki istri dan anak yang sehat. Keluarganya cukup bahagia dan
sejahtera. Di masa tuanya itu, ingatannya kembali terdampar pada kejadian di
gerbong barang. Dimana sang kakak yang tengah hamil tua harus pergi
meninggalkannya. Teramat rindu ia rasakan, namun kerinduan itu diringi tanda tanya
yang tak pernah dapat dijawab.
Dimanakah ia kini....???
Di teras rumahnya, disejuknya udara sore hari ... di relung
kalbu sang adik, berbisik penuh pilu .... “KAKAK... BETAPA AKU MERINDUKANMU...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar